Luke Shaw divonis menepi dari lapangan selama enam bulan. Tekel pemain PSV Eindhoven, Hector Moreno, mematahkan tulang kering dia. Pemain Manchester United itu pun ditandu keluar lapangan. Penonton bertepuk tangan tanda penghormatan, sementara komentator dan penonton di rumah mulai mencari kambing hitam untuk disalahkan.
Dalam kasus Shaw, setidaknya ada tiga pihak yang bisa ditunjuk sebagai pihak yang disalahkan. Aktor pertama tentu Moreno yang melakukan tekel keras. Kedua, wasit yang tak memberikan kartu buat Moreno dan hadiah penalti untuk MU. Ketiga, Shaw sendiri yang memaksakan menerobos hadangan Moreno.
Ketiga pihak tersebut tentu punya argumen dan bantahannya masing-masing. Moreno melakukannya karena insting untuk menyelamatkan gawang dari ancaman lawan. Wasit sudah punya preferensi dan interpretasi sendiri soal aturan dasar tekel, sementara Shaw sedang berada dalam posisi menguntungkan untuk mencetak gol sehingga tak bisa menghindar.
Kolumnis
The Guardian, Daniel Taylor, merangkum sejumlah pendapat, termasuk dua wasit terbaik Inggris: Howard Webb dan Graham Poll. Uniknya, keduanya punya pendapat yang berkebalikan. Webb mendukung keputusan wasit yang tak memberi hukuman, sementara Poll menegaskan kalau tekel tersebut pantas diganjar kartu merah. Padahal, baik Poll maupun Webb menonton dan mengkaji tayangan ulang yang sama.
Sejatinya silang pendapat hadir karena fatalnya cedera yang diderita Shaw. Barangkali apabila Shaw masih sehat dan segar bugar, fragmen tekel Moreno tak akan terlalu banyak mengambil tempat dalam laga yang dihelat di Stadion Phillips tersebut. Terlebih lagi MU kalah dan Moreno, si antagonis, turut mencetak gol. Hal tersebut meninggalkan "ketidakadilan" karena, apabila Shaw tak cedera, bisa saja PSV tak mencetak gol; bisa pula Moreno tak mengembangkan senyuman usai mencetak gol setelah mencederai Shaw.
Cederanya Shaw bukan cuma menjadi perhatian penggemar MU. Pendukung kesebelasan negara Inggris pun kecewa karena Shaw, yang hampir mencapai puncak performanya pada musim ini dan digadang-gadang menjadi bek kiri masa depan Inggris, hampir sulit untuk bisa dilibatkan dalam Piala Eropa 2016 mendatang. Masa pemulihan dari cedera yang ia derita memang bisa dipaksakan, tapi kondisi mental Shaw setelah patah tulang yang masih menjadi pertanyaan.
"Akan selalu ada rasa sedih saat melihat pemain yang masih muda, yang mencapai puncak permainannya, ditebas oleh cedera yang dalam kasus Luke Shaw itu adalah kemalangan yang begitu mengerikan," tulis Taylor.
Tak Perlu Kambing HitamTaylor pun mengulang pernyataan Roy Keane bahwa karena ada korban, bukan berarti harus ada pihak yang disalahkan. Apabila melihat peraturan UEFA, tekel Moreno sudah semestinya diganjar hukuman. Taylor merujuk pada pedoman UEFA di mana tekel dengan kekerasan yang berlebihan atau membahayakan keselamatan pemain lawan bisa dihukum kartu merah.
Dalam hal ini, keselamatan Luke Shaw dipertaruhkan karena pada kenyataannya, ia menderita patah tulang kaki. Namun, Taylor pun memiliki bantahannya dengan menyatakan bahwa cedera di olahraga terkadang bisa datang kapan saja tanpa perlu ada yang harus disalahkan.
Apa yang dimaksud Taylor adalah benturan fisik memang terjadi, tapi bukan tak mungkin ada faktor dalam diri Shaw yang membuat tekel yang "dianggap bersih" oleh wasit menjadi brutal dan berbahaya. Salah satu alasannya karena posisi kaki Shaw yang meregang (tegang) karena tengah berada dalam ancang-ancang penuh untuk menghindari Moreno. Ini yang membuat benturan dengan kaki Moreno berdampak amat fatal.
Ini mirip dengan yang terjadi pada Aaron Ramsey saat ditekel Ryan Shawcross. Saat itu, terlihat posisi kaki Ramsey yang menjejak tanah dan berupaya penuh mengontrol bola liar. Nahas, Shawcross pun berusaha menyapu bola dan bertabrakan dengan kaki Ramsey yang posisinya tidak seimbang. Benturan pun menjadi lebih fatal ditambah dengan buruknya timing Shawcross saat melakukan tekel. Dalam kasus Shawcross wasit tak perlu pikir panjang untuk mengeluarkan kartu merah karena sang pemain tidak melakukan tekel pada bola, tetapi pada tulang kering Ramsey.
Kasus berbeda terjadi saat Vincent Kompany diusir wasit usai melakukan tekel gunting dua kaki saat merebut bola dari Luis Nani. Kompany melakukannya dengan bersih dan hampir tanpa benturan yang terlampau keras dengan kaki Nani. Namun, wasit langsung memberikan kartu merah.
Secara teori, wasit sudah melakukan hal yang benar karena tekel dengan dua kaki memang dilarang. Namun, banyak argumen yang menganggap bahwa tekel Kompany sama sekali tak membahayakan. Mereka menilai bahwa wasit telah mengambil keputusan yang berlebihan.
Hal utama yang membuat wasit menjadi kambing hitam adalah Nani yang melompat menghindari tekel dan ia sama sekali tak cedera. Lain cerita tentu jika Nani membiarkan kakinya dihajar Kompany yang bisa mematahkan kedua tulang kering dan engkelnya.
Solusi Instan Teknologi VideoUsai kejadian yang menimpa Luke Shaw, Inggris kian percaya diri untuk mengapungkan kembali ide penggunaan teknologi video, di mana wasit ataupun kedua kesebelasan bisa meminta wasit melihat tayangan ulang saat memutuskan terjadinya gol, penalti, dan kartu merah. Ketua FA, Greg Dyke, menjadi salah satu orang yang paling mendukung teknologi ini untuk diterapkan di ranah sepakbola.
Penggunaan teknologi video dikhawatirkan mengaburkan sisi humanis sepakbola, di mana wasit bisa saja melakukan kesalahan. Buat penonton awam, sisi humanis ini mengundang cerita-cerita "seru" di balik panggung lapangan hijau. Sementara untuk penggemar, sisi humanis justru amat merugikan.
Misalnya saja yang terjadi pekan lalu saat Gabriel diberi kartu merah oleh wasit. Penggemar Arsenal tentu kesal karena Diego Costa yang terlebih dahulu melakukan provokasi dengan membuat gerakan tangan (atau pukulan) ke wajah Laurent Konscielny. Gabriel yang memisahkan keduanya justru diberi kartu merah karena terjebak provokasi Costa.
Cerita-cerita kekeliruan wasit pun menjadi hal yang tidak mengenakkan bagi mereka yang merasa dirugikan. Penggemar kesebelasan negara Irlandia barangkali tak akan pernah memaafkan Thierry Henry yang secara sengaja menahan bola dengan tangan, lalu mengirimkan
assist ke William Gallas.
Apa yang dilakukan Henry mengubur semangat Irlandia untuk bisa berlaga di Piala Dunia 2010. Henry pun pensiun, pun dengan wasit yang memimpin pertandingan, Martin Hansson. Tapi waktu tak bisa diputar dan Irlandia tetap tak berlaga di Piala Dunia. FIFA bahkan membayar Irlandia lima juta euro untuk menghentikan legal action yang dilakukan Federasi Sepakbola Irlandia. Tentu, lima juta euro pun tak akan membuat Irlandia berlaga di Piala Dunia.
Teknologi video sepertinya bisa menjadi solusi instan akan keteledoran wasit. Irlandia bisa saja lolos ke Piala Dunia 2010, sedangkan
Diego Costa sudah dihukum larangan bermain tiga kali karena membuat gerakan tangan ke wajah Konscielny. Namun, keberadaan teknologi video membuat kita sadar akan keterbatasan teknologi, terutama menyangkut yang terjadi pada Shaw.
Diatur FIFAJika dalam pertandingan PSV menghadapi MU sudah tersedia teknologi video, lantas apa yang akan dilakukan Rizzoli andai Louis van Gaal meminta video review? Apakah ia akan tetap membiarkan Moreno berkeliaran, atau malah mengusirnya dan memberi MU penalti?
Keputusan-keputusan yang memerlukan interpretasi amat rentan menghadirkan silang pendapat. Seperti yang terjadi pada Webb dan Poll di atas. Keduanya adalah wasit top Inggris yang pernah memimpin laga Liga Champions, Piala Eropa, dan Piala Dunia. Webb menyatakan kalau Moreno melakukan tekel yang bersih, sedangkan Poll dengan tegas pasti memberikan kartu merah untuk Moreno.
Sebenarnya tidak diperlukan interpretasi yang begitu mendalam soal kasus Moreno dan Shaw. Dalam law 12 FIFA yang mengatur soal foul dan miscondutcs, telah dijelaskan secara gamblang apa-apa saja yang diperlukan wasit saat memutuskan pelanggaran.
FIFA dengan jelas menyatakan "penggunaan kekuatan yang berlebihan" bisa berakibat dikeluarkannya sang pemain. FIFA pun memberi interpretasi bahwa maksud "penggunaan kekuatan yang berlebihan" adalah membuat pemain lawan dalam bahaya atau cedera.
Melihat penjelasan di atas, sudah semestinya Rizzoli memberi kartu merah pada Moreno. Sekalipun "tekelnya bersih" tapi ia tetap membuat Shaw berada dalam bahaya. Keputusan minor Rizzoli terbilang aneh karena ia termasuk salah satu wasit top Eropa yang secara rutin mendapatkan pendidikan wasit.
Apa yang terjadi dalam kasus Shaw seperti menjadi cermin di mana wasit masih terlampau sungkan untuk bertindak tegas. Padahal hal tersebut sudah menjadi ketentuan global karena disusun oleh FIFA. Tidak tegasnya wasit terhadap pelanggaran yang jelas diatur FIFA, ibarat memberi pembiaran dan pembelajaran buruk kepada penggemar.
Dalam kasus Kompany, penggemar yang terbiasa melihat tekel dua kaki pasti menyalahkan wasit, padahal wasit sudah punya interpretasi bahwa tekel tersebut bisa mengancam keselamatan pemain lawan, yang jelas-jelas tidak diperbolehkan dalam aturan FIFA.
Kalau ingin membungkam penggemar atau pelatih yang mengomeli wasit, ada baiknya wasit bertindak tegas dengan tak memedulikan sisi humanis dalam sepakbola. Dengan ini penggemar atau pelatih akan terbiasa dengan keputusan-keputusan tegas yang terjadi karena melanggar aturan.
====
* Akun twitter penulis: @Aditz92 dari @panditfootball